Herbert Blummer
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah
yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism. Blumer
mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).
Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan
sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human
act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those
people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap
manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan
kepada pihak lain tersebut. Baca juga: Teori Semiotik Ferdinand de Saussure
Herbert Blumer |
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh
Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa
atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar,
maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang
kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang
kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat
dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda,
dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa
Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Once people define a situation as real,
its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa
yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai
kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita
mempercayainya sebagai kenyataan.
Dalam contoh yang sama, ketika kita
memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada
kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula
sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning
arises out of the social interaction that people have with each other.
Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka.
Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah.
Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses
negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme
simbolik.
Di sini, Blumer menegaskan tentang
pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa
penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).
Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan
bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan
bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa
tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti
sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi
bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak
muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya
terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an
individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought
process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai
perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat
refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir,
kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa
pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak
ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai
‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi
bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain
secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
George Herbert Mead
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya
juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana
adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara
pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan
berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau
arab.
Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu
bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali
interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita
tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut
tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada
dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi
diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol
dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu
dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan
dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit
banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu
sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses
berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan
dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi
ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme
simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka
secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses
interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang
pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain
yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat
dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan
lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.
Komunikasi adalah proses interaksi
simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian
pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.
Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap
bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni
berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning,
language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead
tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat
diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how
we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran
mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal
tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik
dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana
orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu,
untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana
ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama
kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain
tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri
ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut
ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut
untuk dan dalam melihat diri kita.
Konsep diri adalah fungsi secara bahasa.
Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri
pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu
sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana proses
komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang,
terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan
simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia
ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang
dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin
menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”. Dan tentunya akan sangat
berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep
diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih
personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita
sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi,
simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada bagaimana
konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya pola
komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya,
lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu
yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi bagaimana
konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori
interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.
Artikel Terkait:
* Ilmu Komunikasi
* Teori Ilmu Komunikasi
* Mata Kuliah Ilmu Komunikasi
* Teori Semiotika
* Makalah Ilmu Komunikasi
* Materi Ilmu Komunikasi
* Makalah Kuliah Komunikasi
* Event Organizer
* Mata Kuliah Event Organizer
* Teori Semantik
* Metode Penelitian Komunikasi
* Jurnalisme Kontemporer
* Media
Massa
* Mata Kuliah Jurnalisme
* Mata Kuliah Reportase
* Ilmu Advertising
* Dasar Jurnalisme
0 Response to "Teori Interaksionisme Simbolik"
Post a Comment