Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan
makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.[1]
Model Teori Semiotika Roland Barthes |
Pada
gambar tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda (signifier)
dan petanda (signified) pada
realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Pada
dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara
umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum,
denotasi biasanya dimaknai sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya,”
bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses
signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya
mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang
terucap.[3]
Akan
tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam
hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan,
dengan demikian sensor atau peretisi politis.Sebagai reaksi yang paling ekstrem
melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba
menyingkirkan dan menolaknya.Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata.
Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah
koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat
alamiah. Baca juga: Teori Interaksi Simbolik
Dalam
kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran
bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.[4] Mitos yang berurusan
dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier
(significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian
bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,
tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua
dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos.
Dalam
hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budai pada Sussure. Sebab
Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda dalam
masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan namasemiologi. Semiologi berasal dari
kata semion yang berarti tanda.Semiologi tidak berurusan dengan isi melainkan
dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang berfungsi
sebagai tanda.Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi.Semiologi sebagai
formal science dan ideologi
sebagai historical science. Mitologi mempelajari tentang ide-ide dalam
suatu bentuk. Baca juga: Teori Semantik
Secara terperinci, Barthes dalam
bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri
atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan
maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut
dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem
kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem
metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan
maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi
tanda (E) pada sistem denotatif.Sementara itu di dalam sistem metabahasa
terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem
denotatif.[5]
thanks info nya, jadi nambah ilmu
ReplyDeletenice gan,, nambah wawasan ane.. thanks
ReplyDelete